MAKALAH KAPITA SELEKTA
“PERBEDAAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DAN PENDIDIKAN ISLAM”
“PERBEDAAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DAN PENDIDIKAN ISLAM”
Di susun oleh
Rusdan
Azwari
NIM. 214 302 0602
Dosen pengampuh
Dr. H. Hery Noer Aly, MA
PROGRAM PASCASARJA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BENGKULU
TAHUN 2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Term epistemologi merupakan bagian yang tak
terpisah dari pembahasan filsafat. Darinya sumber ilmu, dengan kata lain
kemunculan suatu ilmu bermula dari teori pengetahuan atau yang disebut
epistemologi. Bila teori pengetahuan dihubungkn dengan pendidikan agama Islam,
maka yang menjadi fokus pembicaraan adalah ajaran agama Islam apa saja yang
terkait dengan pendidikan? Bila pertanyaan tersebut yang menjadi fokus
pembicaraan, maka jawabannya adalah semua aspek yang diajarkan dalam Islam
adalah bernilai pendidikan tanpa terkecuali. Semua aspek yang dimaksud
terangkum dalam term akidah, ibadah, dan akhlak. Ketiga term ini melingkupi
pembahasan yang sangat luas, namun tetap bermuara pada pembahasan mengenai
pengenalan kepada Allah SWT., potensi dan fungsi manusia, dan akhlak.
Bagian yang tak terpisahkan dalam
masalah-masalah pendidikan adalah guru, anak didik, kurikulum, metode, evaluasi
dan tujuan. Salah satu bagian yang patut mendapat perhatian adalah masalah
kurikulum. Kurikulum dalam definisi Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional
nomor 2 tahun 2003 adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan,
isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu. Menurut Muhaimin, dari definisi tersebut ada tiga komponen yang
termuat dalam kurikulum, yaitu tujuan, isi, dan bahan pelajaran, serta cara
pembelajaran, baik yang berupa strategi pembelajaran maupun evaluasinya.
Dari paparan di atas akan menjadi penting
bahwa pendidikan agama Islam memiliki hubungan yang erat dengan pendidikan
Islam dan apa yang diinginkan oleh pendidikan secara nasional yang tersirat
dalam definisi kurikulum dalam sistem pendidikan nasional. Di sini penulis
melalui tulisan ini melihat kembali yang menjadi dasar pemikiran terhadap
tujuan pendidikan agama Islam (PAI) dan pendidikan Islam yang ditinjau dari
aspek epistemologi dan isi (materi).
B. Rumusan
Masalah
1. Apa Pengertian Pendidikan Agama
Islam dan Pendidikan Islam?
2. Bagaimana Epistimologi; Kaitannya
dengan PAI dan Pendidikan Islam?
3. Bagaimana Pendidikan Agama Islam
dan Pendidikan Islam; Tinjauan Isi/ Materi?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Pengertian
Pendidikan Agama Islam dan Pendidikan Islam
2. Untuk mengetahui Epistimologi;
Kaitannya dengan PAI dan Pendidikan Islam
3. Untuk mengetahui Pendidikan Agama
Islam dan Pendidikan Islam; Tinjauan Isi/ Materi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Pendidikan Agama Islam dan Pendidikan Islam
Pengajaran pertama dalam Islam adalah pada
ketika Jibril datang menemui Nabi Muhammad Saw. yang sedang berada di gua Hira.
Dalam pengajarannya Jibril meminta kepada Nabi Saw. untuk membaca dan mengikuti
apa yang dibacakan kepadanya. Surat al-Alaq ayat 1 sampai 5 merupakan
bukti bahwa kemunculan Islam ditandai dengan pengajaran dan pendidikan sebagai
pondasi utama setelah iman, islam dan ihsan. Yaitu terdapat pada makna ayat
Alquran:
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ ù&tø%$# y7/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷èt ÇÎÈ
Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang
menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah
Yang Paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia
mengajarkankepada manusia yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq: 1-5)
Dari ayat Alquran di atas paling tidak
mengisyaratkan ada empat pokok bahasan, yaitu pertama, manusia sebagai subyek
dalam membaca, memperhatikan, merenung, meneliti dengan asas niat yang baik
yang ditandai dengan menyebut nama Tuhan. Kedua, objek yang dibaca,
diperhatikan, dan direnungkan, yaitu materi dan proses penciptaan hingga
menjadi manusia sempurna. Ketiga, media dalam melakukan aktivitas membaca dan
lain-lain. Dan keempat, motivasi dan potensi yang dimiliki oleh manusia, “rasa
ingin tahu”.
Pemahaman ayat di atas semakna jika dikaitkan
dengan faktor-faktor yang berkaitan dengan proses pendidikan dalam arti mikro,
yaitu: pendidik, anak didik, dan alat-alat pendidikan, baik yang bersifat
materiil maupun nonmateriil.[1]
Pendidikan merupakan proses terus menerus
dalam kehidupan manusia dari masa umur 0 (nol) menuju manusia sempurna
(dewasa). Bahkan Muhammad Abd. Alim mengatakan bahwa pendidikan itu dimulai
dari ketika memilih perempuan sebagai isteri. Pendapat ini didasari dari hadis
Nabi Saw, yaitu “Takhayyaru li nutfikum fa innal „Irqa dassas”. Artinya:
“pilihlah olehmu tempat benih kamu, sebab akhlak ayah itu menurun kepada
anak”.[2]
oleh karena Islam sangat menaruh perhatian terhadap pendidikan, khususnya
proses pertumbuhan anak dari awal pemilihan tempat benih sampai membentuk
pribadi individu dalam kehidupan. Dan yang turut berperan dalam pembinaan kepribadian
dan pendidikan anak adalah orang tua, masyarakat dan sekolah.[3]
Pendidikan sebagai usaha membina dan
mengembangkan pribadi manusia; aspek rohaniah, dan jasmaniah, juga harus
berlangsung secara bertahap. Sebab tidak ada satupun makhluk iptaan Allah yang
secara langsung tercipta engan sempurna tanpa melalui suatu proses.[4]
Kematangan dan kesempurnaan yang diharapkan
bertitik tolak pada pengoptimalan kemampuannya dan potensinya. Tujuan yang
diharapkan tersebut mencakup dimensi vertikal sebagai hamba Tuhan; dan dimensi
horisontal sebagai makhluk individual dan sosial. Hal ini imaknai bahwa tujuan
pendidikan dalam mengoptimalan kemampuan atau potensi manusia erdapat
keseimbangan dan keserasian hidup alam berbagai dimensi.[5]
Demikian pula yang diharapkan oleh pendidikan
agama Islam. Muhaimin berpendapat bahwa pendidikan agama Islam bermakna upaya
endidikkan agama Islam atau ajaran Islam dan lai-nilainya agar menjadi
pandangan dan sikap hidup seseorang. Dari aktivitas mendidikkan agama Islam itu
bertujuan untuk membantu seseorang atau sekelompok anak didik dalam menanamkan
dan /atau menumbuhkembangkan ajaran Islam dan nilai-nilainya untuk dijadikan
sebagai pandangan hidupnya.[6]
Sementara itu Harun Nasution yang dikutip
oleh Syahidin mengartikan tujuan PAI (secara khusus di sekolah umum) adalah
untuk membentuk manusia takwa, yaitu manusia yang patuh kepada Allah dalam menjalankan
ibadah dengan menekankan pembinaan kepribadian muslim, yakni pembinaan akhlakul
karimah, meski mata pelajaran agama tidak diganti mata pelajaran akhlak dan
etika.[7]
Dalam term yang serupa (menurut
penulis) dengan pendidikan agama Islam adalah Pendidikan Islam. Al-Syaibani
mengartikannya sebagai “usaha pendidikan untuk mencapainya, baik pada tingkah
laku individu dan pada kehidupan pribadinya atau pada kehidupan masyarakat dan pada
kehidupan alam sekitar…..pada proses kependidikan…”.[8]
Sedang Al-Nahlawi memberikan pengertian pendidikan Islam adalah “sebagai
pengaturan pribadi dan masyarakat sehingga dapat memeluk Islam secara logis dan
sesuai secara keseluruhan baik dalam kehidupan individu maupun masyarakat
(kolektif)”.[9]
Hal yang senada juga disampaikan Muhammad Fadhil al-Jamaly; mendefinisikan
pendidikan Islam sebagai upaya mengembangkan, mendorong serta mengajak peserta
didik hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dan
kehidupan yang mulia. Dengan proses tersebut, diharapkan akan terbentuk pribadi
peserta didik yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan potensi akal,
perasaan, maupun perbuatannya.[10]
Ahmad D. Marimba; mengemukakan bahwa
pendidikan Islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik
terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya
kepribadiannya yang utama (insan kamil). Juga Ahmad Tafsir;
mendefinisikan pendidikan Islam adalah bimbingan yang diberikan oleh seseorang
kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.[11]
Dari definisi pendidikan agama Islam dan
beberapa definisi pendidikan Islam di atas, terdapat kemiripan makna yaitu
keduanya sama-sama mengandung arti pertama, adanya usaha dan proses
penanaman sesuatu (pendidikan) secara kuntinue. Kedua, adanya hubungan
timbal balik antara orang pertama (orang dewasa, guru, pendidik) kepada orang
kedua, yaitu peserta dan anak didik. dan ketiga adalah akhlakul karimah
sebagai tujuan akhir. Namun tidak kalah pentingnya dari aspek epistemologi
bahwa pembinaan dan pengoptimalan potensi; penanaman nilai-nilai Islam dalam
jiwa, rasa, dan pikir; serta keserasian dan keseimbangan.
Muhaimin memberikan karakteristik PAI yang
berbeda dengan yang lain, yaitu:
1. PAI berusaha menjaga akidah
peserta didik agar tetap kokoh dalam situasi dan kondisi apapun.
2. PAI berusaha menjaga dan
memelihara ajaran dan nilai-nilai yang tertuang dan yang terkandung dalam
Alquran dan al-sunnah serta otentisitas keduanya sebagai sumber utama ajaran
Islam.
3. PAI menonjolkan kesatuan iman,
ilmu, dan amal dalam kehidupan keseharian.
4. PAI berusaha membentuk dan
mengembangkan kesalehan individu dan sekaligus kesalehan sosial.
5. PAI menjadi landasan moral dan
etika dalam pengembangan iptek dan budaya serta aspekaspek kehidupan lainnya.
6. Substansi PAI mengandung
entitas-entitas yang bersifat rasional dan supra rasional.
7. PAI berusaha menggali,
mengembangkan dan mengambil ibrah dari sejarah dan kebudayaan (peradaban)
Islam., dan
8. Dalam beberapa hal, PAI mengandung
pemahaman dan penafsiran yang beragam, sehingga memerlukan sikap terbuka dan
toleran atau semangat ukhuwah Islamiyah.[12]
B. Epistimologi;
Kaitannya dengan PAI dan Pendidikan Islam
Sejak dikenalnya filsafat dalam kehidupan
manusia, maka sesuai dengan asal-usul kata dari “filsafat” itu sendiri, yaitu philos
yang berarti “cinta” dan sophos yang berarti “kebenaran”, maka sejak
itulah pencarian manusia terhadap kebenaran mulai dilakukan, pengetahuan
manusia tentang alampun mulai berkembang, dari pengetahuan animisme dan
dinamisme dengan pengembangan berbagai mitos tentang para dewa dengan berbagai
kesaktian dan perangainya sehingga selanjutnya manusia mencoba untuk
menafsirkan dunia ini terlepas dari belenggu mitos. Manusia tidak lagi menatap
kehidupan ini dari balik harum dupa dan asap kemenyan.
Filsafat, cenderung diidentikkan dengan
menjawab berbagai pertanyaan tentang pelbagai segi kehidupan manusia.
Pertanyaan-pertanyaan ini meliputi dari bagaimana kita memperoleh pengetahuan
sampai pertanyaan-pertanyaan mengenai yang benar, yang baik, yang indah,
hakikat sesuatu, dan sebagainya.
DW. Hamlyn dalam bukunya , History of
Epistemologi yang dikutip oleh Amsal Bakhtiar, epistemologi atau teori
pengetahuan adalah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup
pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggung
jawabannya atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.[13]
Muthahhari menyebutkan bahwa ada empat sumber
epistemologi, yakni: alam (red; indera), rasio, hati dan sejarah.[14]
Dalam bahasa yang berbeda Noeng Muhadjir mengatakan bahwa dalam pengenalan
terhadap beragam objek bisa diserap lewat indera, akal rasio, akal budi, dan
intuisi serta keimanan kita (red; wahyu).[15]
Jadi, dari sumber epistemologi tersebut dalam prosesnya akan melahirkan ilmu
pengetahuan yang merupakan sebuah keharusan dalam membangun peradaban.
Jika epistimologi dikaitkan dengan pendidikan
agama Islam, maka yang menjadi objek pembahasannya adalah seluk beluk
pengetahuan agama Islam, hakekat agama Islam, sumber agama Islam, metode dan
cara mendidikkan agama Islam, dan evaluasi dan tujuan mendidikkan agama Islam.
Sementara itu menurut Mujamil Qomar, jika
epistimologi dikaitkan dengan pendidikan Islam, maka pembahasannya meliputi;
pembahasan yang berkaitan dengan seluk beluk pengetahuan pendidikan Islam mulai
dari hakekat pendidikan Islam, asal-usul pendidikan Islam, sumber pendidikan
Islam, metode membangun pendidikan Islam, unsur pendidikan Islam, sasaran
pendidikan Islam, macam-macam pendidikan Islam dan sebagainya.[16]
C. Pendidikan
Agama Islam dan Pendidikan Islam; Tinjauan Isi/ Materi
Isi atau materi tidak terlepas dari konsep
kurikulum. Muhaimin melihat makna yang terkandung dalam definisi kurikulum
dalam sistem pendidikan nasional adalah terdapat dua pemahaman yang berbeda
dalam memandang arti kurikulum, pertama, kurikulum yang menekankan aspek isi,
di mana masyarakat dianggap bersifat statis, yang menentukan aspek dalam
pembelajaran adalah para pendidik. Kedua, kurikulum yang menekankan pada proses
dan pengalaman yang sudah tentu melibatkan anak didik. Sehingga tidak muncul
anggapan bahwa tidak ada kurikulum standar, yang ada hanyalah kurikulum minimal
yang dalam implementasinya dikembangkan bersama peserta didik.[17]
Menurut Ashan yang dikutip oleh E. Mulyasa,
menyatakan: Tiga hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kurikulum yang
berbasis kompetensi, yaitu penetapan kompetensi yang akan dicapai, pengembangan
strategi untuk mencapai kompetensi, dan evaluasi. Kompetensi yang ingin dicapai
merupakan pernyataan (goal statement) yang hendak diperoleh peserta
didik, menggambarkan hasil belajar (learning outcomes) pada aspek
pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap. Strategi mencapai kompetensi
adalah upaya untuk membantu peserta didik dalam menguasai kompetensi yang
ditetapkan, misalnya: membaca, menulis, mendengarkan, berkreasi, dan
mengobservasi, sampai terbentuk suatu kompetensi. Sedangkan evaluasi merupakan
kegiatan penilaian terhadap pencapaian kompetensi bagi setiap peserta didik.[18]
Inti dari pembahasan kurikulum diatas adalah
mengenai pengetahuan yang didapat, penerapan dari pengetahuan tersebut dan
aspek nilai. Semua aspek ini bila ditinjau dari pandangan pendidikan agama
Islam saling mendukung dan tidak terdapat kontradiktif di mana kurikulum
pendidikan nasional bertujuan menumbuhkan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, menumbuhkan penalaran yang baik (mau belajar, ingin tahu,
kreatif dan bertanggung jawab).[19]
Dalam pendidikan agama Islam terdapat tiga
materi pokok yaitu akidah, ibadah dan akhlak. Sedang dalam bahasa pendidikan
Islam, ketiga term tersebut dijabarkan dengan istilah pengenalan kepada
Allah SWT., potensi dan fungsi manusia, dan akhlak. Berikut ini penjelasan
ketiga term dalam pendidikan Islam yang semakna dengan pendidikan agama
Islam, adalah sebagai berikut:
1.
Pengenalan terhadap Allah SWT.
Allah SWT. sebagai pencipta alam semesta.
Sang maha yang tidak bisa diindera secara kasat mata. Akan tetapi, manusia telah
dianugerahi “rasa” yang mampu menuntun manusia untuk mencari Sang maha tersebut
(rasa iman). Hal ini dapat diamati yang salah satunya adalah masa pertumbuhan
anak. Maksudnya, sejak di dalam kandungan, janin telah akrab dengan sumber
kehidupan dalam aspek biologisnya, dalam hal ini adalah ibu. Ia sang janin
tidak bisa lepas dari dekapan dan belaian ibu. Ini terus berlanjut sampai ia
lahir (bayi) bisa mendengar dan melihat. Begitu pula hubungan ia dengan Sang
maha tersebut yang dalam istilah agama Islam adalah kecenderungan ‟beragama‟
atau fitrah. Al-Syaibany mengatakan bahwa perasaan keagamaan ini dalah naluri
yang dibawa bersama ketika manusia ahir. Dalam waktu yang sama hal ini juga membayangkan
kebutuhan insan yang pokok untuk mencapai ketenteraman dan kebahagiaan.22 Nilai-nilai
nilah yang dididikan kepada anak didik ebagai materi PAI. Supaya terbina rasa ketakwaan
yang kokoh dan selalu terpatri dalam eseharian.
2. Potensi
dan fungsi manusia
Manusia dianugerahi Allah berupa potensi ang
diharapkan mampu mengemban misi suci sebagai khalifat Allah di muka bumi dan
sekaligus sebagai „abd Allah„, hamba Allah. Oleh karenanya, ia dibekali
dengan kemapanan potensi seperti akal, hati, rasa, dan nafsu (sumber daya
anusia/SDM).[20] Sebenarnya keempat potensi ini bila diberdayakan
akan tercipta kekuatan yang ‟dahsyat‟ yang mampu mengemban amanah yang
dibebankan kepadanya. Alam juga merupakan potensi bagi manusia yang bisa
dimanfaatkan bagi kehidupan atau yang disebut dengan sumber daya alam (SDA).
Epistemologi Islam bersumber dari pedoman
hidup muslim, berupa kalam ilahi (Alquran) yang selalu memberikan pancaran
hidayah Allah bagi siapa saja yang membaca, memahami dan menggalinya. Surat al-
Alaq ayat 1-5 merupakan bukti bahwa Alquran merupakan kitab yang menaruh
perhatian terhadap pendidikan. Demikian pula dengan lafaz-lafaz dan ungkapan-
ungkapan yang digunakan agar manusia berfikir, menggunakan akal untuk mendapatkan
pengetahuan yang benar, seperti kata-kata nazara (memperhatikan), tadabbara
(merenungkan), tafakkur (memikirkan), faqiha (mengerti), tazakkara
(mempelajari), fahima
(memahami), dan
„aqala
(mempergunakan akal).[21]
Juga yang
menjadi sumber
pengetahuan bagi epistemologi Islam
adalah hadis. Hadis diakui memberikan perhatian yang amat besar terhadap pendidikan. Nabi Muhammad Saw. mencanangkan program
pendidikan seumur hidup (long life education), seperti uthlub al-„ilm min al-mahd ila
al- lahd. Selanjutnya pada
hadis
yang lain menegaskan kewajiban menuntut ilmu bagi muslim laki-laki dan muslim perempuan, seperti thalab al-„ilm faridhah „ala kulli muslim wa mulimah.[22]
Sumber pengetahuan yang lain adalah akal
pikiran,
perasaan
dan
kesadaran. Dengan
tiga
potensi ini manusia diaharapkan
bisa
mempergunakannya secara optimal untuk menemukan kebenaran hakiki dan mendapat ilmu
yang berguna bagi kelangsungan
hidupnya. Sebab ilmu berfungsi sebagai: a. mengetahui kebenaran,
b. menjelaskan ajaran/akidah Islamiyah, c. menguasai alam, d. meningkatkan kebudayaan dan peradaban Islamiyah.[23]
Secara lebih rinci keistimewaan- keistimewaan yang
dianugerahkan
Allah
kepada
manusia antara lain
adalah kemampuan
berfikir untuk memahami alam
semesta (Q.S, Ar Ra‟ad/13:3) dan
dirinya sendiri
(Q.S, Ar
Rum/30:20-21), akal
untuk
memahami tanda-tanda keagungan-Nya
(Q.S. Al- Hajj/22: 46), nafsu yang
paling rendah
(Q.S, Yusuf/12:53) sampai yang tertinggi kalbu untuk
mendapat
cahaya tertinggi
(Q.S, Al Fajr/89:27-30, dan ruh
yang
kepadanya Allah Swt mengambil kesaksian manusia (Q.S, Al A‟raf/7:172-174).[24]
Islam
sangat menganjurkan bagi umatnya untuk mencari ilmu pengetahuan. Bahkan dalam
berbagai hadis
dikatakan bahwa proses mencari
ilmu pengetahuan merupakan bagian dari melaksanakan ibadah.
Jadi akal pikiran, perasaan dan kesadaran sebagai media bagi manusia untuk memperoleh pengetahuan
yang benar. Sehingga
iman, ilmu dan amal tampak baik dalam kesalehan
individu maupun kesalehan sosial.
3.
Akhlak
Akhlak
merupakan bagian penting dalam kehidupan muslim. Sebab misi Nabi
dalam dakwahnya adalah memperbaiki akhlak
umat manusia, sebagai mana sabdanya: “Innama
buitstu li utammima makarim al-akhlak”, bahwasanya aku
diutus untuk menyempurnakan akhlak.
Misi dakwah Nabi tersebut sesuai
dengan tujuan pendidikan Islam,
yaitu mempertinggi
nilai-
nilai akhlak hingga mencapai tingkat akhlak
mulia.
Faktor kemulian akhlak dalam
pendidikan Islam dinilai sebagai faktor kunci dalam
menentukan
keberhasilan pendidikan,
yang
menurut
pandangan Islam berfungsi menyiapkan manusia-manusia yang mampu menata kehidupan yang sejahtera di
dunia dan kehidupan di akhirat.
Dari makna yang terkandung dalam
nilai-
nilai akhlak
ini, maka anak didik dalam
mengembangkan ipteks dan budaya serta aspek-
aspek kehidupan lainnya tidak terlepas dari
landasan moral dan etika.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas,
maka dapat ditarik suatu simpulan, yaitu:
1.
Pendidikan agama
Islam (PAI) merupakan
bagian dan merupakan bahan jadi dari isi yang
sumbernya adalah
pendidikan Islam. Sehingga bisa dikatakan bahwa pendidikan Islam adalah
format berupa
kajian-kajian
teori yang
diaplikasikan melalui proses mendidikkan
agama Islam.
2.
Term PAI
tidak bisa dipisahkan dari pendidikan
Islam, sehingga perlu
kesinambungan dan
menyeleraskan
antara kajian teori dengan aplikasi.
3.
Epistemologi atau teori pengetahuan dalam hal ini pendidikan Islam memiliki keterkaitan
dengan pendidikan
agama
Islam, akan
memunculkan pembinaan dan
pengoptimalan potensi; penanaman nilai-nilai Islam
dalam jiwa, rasa, dan
pikir; serta keserasian dan
keseimbangan. Sehingga term akidah, ibadah,
dan
akhlak atau dengan penjabarannya dengan istilah pengenalan terhadap Allah
SWT., potensi dan fungsi manusia
serta kajian akhlak dan diterapkan dalam tataran aplikasi berupa cerdas pengetahuan, cerdas sikap dan
nilai, serta cerdas dalam
tindakan yang diambil dalam kehidupan sehari-hari (berakhlak
mulia).
B. Kritik dan Saran
Makalah ini penulis menyadari banyak kesalahan dan kekurangan, oleh karena
itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca budiman, yang
berguna bagi penulis dalam membuat makalah selanjutnya, terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Muzayyin. Filsafat Pendidikan
Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2003.
Abd. Alim, Muhammad. Al-Tarbiyah
wa al-Tanmiyah.. fi al-Islam, Riyadh: KSA, 1992.
Al-Nahlawi, Abdurrahman. Ushul al-Tarbiyah
al-Islamiyah wa Asalibiha, Damaskus: Dar al-Fikr, 1979.
Al-Syaibany, Falsafah al-Tarbiyyah
al-Islamiyyah, Alih Bahasa: Hasan Langgulung, Falsafah Pendidikan
Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Al-Rasyidin dan H. Samsul Nizar, Filsafat
Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press, 1995.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu,
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994.
E.Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi,
onsep, Karakteristik, dan Implementasi, Bandung: PT. emaja Rosdakarya,
2004.
Hamdani Ihsan dan
Fuad
Ihsan,
Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1998.
Qomar, Mujamil. Epistemologi Pendidikan
Islam, Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, Jakarta: Erlangga, 2005.
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum
Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2007.
Muhadjir, Noeng. Filsafat Ilmu, Telaah Sistematis
Fungsional Komperatif, Yogyakarta, Rake Sarasin, 1998.
Nata,
Abuddin. Filsafat
Pendidikan
Islam, Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1997.
Syahidin, Aplikasi Metode Pendidikan
Qurani dalam Pembelajaran Agama di Sekolah, Tasikmalaya: Ponpes Suryalaya
Tasikmalaya, 2005.
Suharto, Rudhy. Ilmu dan Epistemologi,
dalam Jurnal Al-Huda, Jakarta: Al-Huda, tt..... Lihat Jalaluddin dan Usman Said
Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999.
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif
Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994.
[1] H. Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan
Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), Cet-1, h. 8
[2] Muhammad Abd. Alim, Al-Tarbiyah wa
al-Tanmiyah.. fi al-Islam, (Riyadh: KSA, 1992), h. 44-45.
[3] Muhammad Abd. Alim, Al-Tarbiyah, h.
44-45.
[4] H. Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan, h.
12.
[5] H. Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan, h.
12 dan 15.
[6] H. Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan, h.
7-8.
[7] Syahidin, Aplikasi Metode Pendidikan
Qurani dalam Pembelajaran Agama di Sekolah, (Tasikmalaya: Ponpes Suryalaya
Tasikmalaya, 2005), h. 20
[8] Al-Syaibany, Falsafah al-Tarbiyyah
al-Islamiyyah, Alih Bahasa: Hasan Langgulung, Falsafah Pendidikan
Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), cet-1, h. 399
[9] Abdurrahman al-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyah
al-Islamiyah wa Asalibiha, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1979), h. 20
[10] Al-Rasyidin dan H. Samsul Nizar, Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 1995), h. 31- 32
[11] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam
Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994), cet-2, h. 32
[12] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum
Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2007), h. 123.
[13] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu,
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994), h. 148
[14] Rudhy Suharto, Ilmu dan Epistemologi,
dalam Jurnal Al-Huda, (Jakarta: Al-Huda, tt), h. 1. ..... Lihat Jalaluddin dan
Usman Said Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
1999), cet-3, h. 31
[15] Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Telaah
Sistematis Fungsional Komperatif, (Yogyakarta, Rake Sarasin, 1998), Cet.-2,
h. 56
[16] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan
Islam, Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, (Jakarta: Erlangga, 2005)
, h. 249
[17] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan, h.
3-4
[18] E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis
Kompetensi, onsep, Karakteristik, dan Implementasi, (Bandung: PT. emaja
Rosdakarya, 2004), Cet. Ke-6, H. 41-42.
[19] E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis, h.
21-22.
[20] Al-Syaibany, Falsafah al-Tarbiyyah, h.
121.
[21] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan, h. 38.
[23] Hamdani Ihsan
dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), h.
36.
[24] Al-Rasyidin dan H. Samsul Nizar, Filsafat
Pendidikan, h. 17.
0 komentar:
Posting Komentar