MAKALAH
PSIKOLOGI PAI DAN KESEHATAN MENTAL
“KEKERASAN TERHADAP ANAK”
Di
susun oleh
RUSDAN AZWARI
Dosen
pengampuh
Dr. H. Hery Noer Aly, MA
PROGRAM PASCASARJA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUTE AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BENGKULU
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Anak adalah tumpuan dan harapan orang
tua. Anak jugalah yang akanmenjadi penerus bangsa ini. Sedianya,
wajib dilindungi maupun diberikan kasih sayang. Namun fakta berbicara
lain. Maraknya kasus kekerasan pada anak sejak beberapa tahun ini seolah
membalikkan pendapat bahwa anak perlu dilindungi. Begitu banyak anak yang
menjadi korban kekerasan keluarga, lingkungan maupun masyarakat dewasa ini.
Pasal 28b ayat 2 menyatakan bahwa “Setiap
anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminas”. Namun apakah pasal tersebut
sudah dilaksanakan dengan benar?Seperti yang kita tahu bahwa Indonesia masih
jauh dari kondisi yang disebutkan dalam pasal tersebut.
Berbagai jenis kekerasan diterima oleh
anak-anak, seperti kekerasan verbal, fisik, mental maupun pelecehan
seksual. Ironisnya pelaku kekerasan terhadap anak biasanya adalah orang
yang memiliki hubungan dekat dengan si anak, seperti keluarga, guru maupun teman
sepermainannya sendiri. Tentunya ini juga memicu trauma pada anak,
misalnya menolak pergi ke sekolah setelah tubuhnya dihajar ole gurunya sendiri.
Kondisi ini amatlah memprihatinkan, namun
bukan berarti tidak ada penyelesaiannya. Perlu koordinasi yang tepat di lingkungan
sekitar anak terutama pada lingkungan keluarga untuk mendidik anak tanpa
menggunakan kekerasan, menyeleksi tayangan televisi maupun memberikan
perlindungan serta kasih sayang agar anak tersebut tidak menjadi anak yang suka
melakukan kekerasan nantinya. Tentunya kita semua tidak ingin negeri ini
dipimpin oleh pemimpin bangsa yang tidak menyelesaikan kekerasan terhadap rakyatnya.
Persoalannya adalah sejauhmana hukum atau
perundang-undangan Indonesia, mengapresiasi terhadap fenomena tersebut,baik terhadap
perbuatan, pelaku maupun anak sebagai korban kekerasan.
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas,
dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.
Apa pengertian anak menurut Undang-Undang?
2.
Apa Pengertian kekerasan terhadap anak
menurut para ahli?
3.
Apa saja faktor-faktor yang memicu kekerasan
terhadap anak?
4.
Apa bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak?
5.
Bagaimana dampak kekerasan terhadap anak?
6.
Seperti apa perlindungan hukum terhadap anak
korban kekerasan?
7.
Bagaiman solusi pencegahan kekerasan terhadap
anak?
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengertian
anak menurut UU
Dalam Pasal 1 nomor 2 Undang-undang Nomor 4
Tahun 1979, tentang Kesejahteraan anak disebutkan bahwa : “Anak adalah seseorang yang
belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin”.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 menyebutkan
dalam pasal 1 nomor 1 bahwa: “Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal
telah mencapai umur delapan tahun, tetapi belum mencapai umur 18 tahun danbelum
pernah kawin”.
Pengertian anak menurut UU No. 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak tercantum dalam Pasal I butir I UU No. 23/2002
berbunyi: “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun),
termasuk anak yang masih dalam kandungan”.
Dalam pengertian dan batasan tentang anak
sebagaimana dirumuskan dalam pasal I butir I UU No.23/2002 ini tercakup 2 (dua)
isu penting yang menjadi unsur definisi anak, yakni:
Pertama, seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun. Dengan demikian, setiap orang yang telah melewati
batas usia 18 tahun, termasuk orang yang secara mental tidak cakap,
dikualifikasi sebagai bukan anak, yakni orang dewasa.Dalam hal ini, tidak
dipersoalkan apakah statusnya sudah kawin atau tidak.
Kedua, anak yang masih dalam kandungan. Jadi,
UU No.23/2002 ini bukan hanya melindungi anak yang sudah lahir tetapi
diperluas, yakni termasuk anak dalam kandungan.
Pengertian dan batasan usia anak
dalam UU No. 23/2002, bukan dimaksudkan untuk menentukan siapa yang telah
dewasa, dan siapa yang masih anak-anak. Sebaliknya, dengan pendekatan
perlindungan, maka setiap orang (every human being) yang berusia di bawah 18
tahun – selaku subyek hukum dari UU No. 23/2002 – mempunyai hak atas
perlindungan dari Negara yang diwujudkan dengan jaminan hukum dalam UU No. 23/2002.
Kewajiban Anak Menurut UU No. 23 Tahun 2002
Kewajiban berasal dari kata dasar “wajib”
yang artinya harus melakukan; tidak boleh tidak dilaksanakan
(ditinggalkan). Mendapat awalan ke- dan akhiran -an, menjadi kewajiban
yang artinya sesuatu yang harus dilaksanakan. Jadi, kewajiban anak adalah
sesuatu yang harus dilaksanakan oleh seorang anak.
Di antara kewajiban yang harus dilakukan oleh
anak menurut UU No. 23 Tahun 2002 adalah:
Pasal 19 Setiap anak berkewajiban untuk:
1.
Menghormati orang tua, wali, dan guru;
2.
Mencintai keluarga, masyarakat, dan
menyayangi teman;\
3.
mencintai tanah air, bangsa, dan Negara;
4.
menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran
agamanya; da
5.
melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
Kewajiban Orang Tua Menurut UU No. 23 Tahun
2002
Orangtua sebagai orang terdekat anak berkewajiban melaksanakan kewajibannya.Orangtua tidak boleh hanya menuntut hak terhadap anak saja tetapi juga memiliki kewajiban yang harus ia laksanakan.
Orangtua sebagai orang terdekat anak berkewajiban melaksanakan kewajibannya.Orangtua tidak boleh hanya menuntut hak terhadap anak saja tetapi juga memiliki kewajiban yang harus ia laksanakan.
Dalam UU No. 23 Tahun 2002 terdapat kewajiban
orangtua yaitu tercantum dalam pasal 26 yang berbunyi: (I) Orang tua
berkewajiban dan berytanggung jawab untuk: (a) mengasuh, memelihara, mendidik,
dan melindungi anak, (b) menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan,
bakat, dan minatnya; dan
cmencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. (2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
cmencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. (2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
B. Pengertian
kekerasan terhadap anak menurut para ahli
Menurut Sutanto (2006) kekerasan anak adalah
perlakuan orang dewasa atau anak yang lebih tua dengan menggunakan
kekuasaan/otoritasnya terhadap anak yang tak berdaya yang seharusnya menjadi
tanggung jawab dari orangtua atau pengasuh yang berakibat penderitaan,
kesengsaraan, cacat/kematian. Kekerasan pada anak lebih bersifat sebagai
bentuk penganiayaan fisik dengan terdapatnya tanda atau luka pada tubuh sang
anak.
Nadia (2004) mengartikan kekerasan anak
sebagai bentuk penganiayaan baik fiisk maupun psikis. Penganiayaan fisik
adalah tindakan kasar yang mencelakakan anak dan segala bentuk kekerasan fisik
pada anak yang lainnya. Sedangkan penganiayaan psikis adalah semua
tindakan merendahkan/meremehkan anak.
Lebih lanjut Hoesin (2006) melihat kekerasan
anak sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak-hak anak dan dibanyak negara
dikategorikan sebagai kejahatan sehingga untuk mencegahnya dapat dilakukan oleh
para petugas hukum.
Sedangkan Patilima (2003) menganggap
kekerasan merupakan perlakuan yang salah dari orangtua. Patilima
mendefinisikan perlakuan yang salah pada anak adalah segala perlakuan terhadap
anak yang akibat dari kekerasannya mengancam kesejahteraan dan tumbuh kembang
anak, baik secara fisik, psikologi sosial maupun mental.
C. Faktor
faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan terhadap Anak
Kerasan dalam pendidikan diasumsikan terjadi
sebagai akibat kondisi tertentu yang melatar belakanginya, baik faktor internal
dan eksternal, dan tidak timbul secara begitu saja, melainkan dipicu oleh suatu
kejadian. Kondisi (antecedent variable), faktor (independent variabel) dan
pemicu (intervening variabel) tindak kekerasan dalam pendidikan (dependent
variabel) terangkai dalam hubungan bersifat spiral, dapat muncul sewaktu-waktu,
oleh pelaku siapa saja yang terlibat dalam dunia pendidikan, sepanjang dijumpai
adanya pemicu kejadian. (Rahman Asegaf, 2004, 37-38)
Ada banyak faktor kenapa terjadi kekerasan
terhadap anak :
1.
Lemahnya pengawasan orang tua terhadap anak
dalam menonton tv, bermain dll. Hal ini bukan berarti orang tua menjadi
diktator/over protective, namun maraknya kriminalitas di negeri ini membuat
perlunya meningkatkan kewaspadaan terhadap lingkungan sekitar.
2.
Anak mengalami cacat tubuh, gangguan tingkah
laku, autisme, terlalu lugu
3.
Kemiskinan keluarga (banyak anak)
4.
Keluarga pecah (broken Home) akibat
perceraian, ketiadaan Ibu dalam jangka panjang.
5.
Keluarga yang belum matang secara psikologis,
ketidak mampuan mendidik anak, anak yang tidak diinginkan (Unwanted
Child)atau anak lahir diluar nikah.
6.
Pengulangan sejarah kekerasan orang tua yang
dulu sering memperlakukan anak-anaknya dengan pola yang sama
7.
Kondisi lingkungan yang buruk,
keterbelakangan
8.
Kesibukan orang tua sehingga anak menjadi
sendirian bisa menjadi pemicu kekerasan terhadap anak
9.
Kurangnya pendidikan orang
tua terhadap anak.
D. Bentuk Kekerasan
Terhadap Anak
Menurut Rahman Asegaf (2004, 37) bila tinjau dari
tingkatannya, perilaku kekerasan dapat dibedakan menjadi tia kelompok, yaitu:
1.
Kekerasan tingkat ringan, yakni berupa
potensi kekerasan. Pada tingkat ini kekerasan yang terjadi umumnya berupa
kekerasan tertutup, kekerasan defensive, unjuk rasa, pelecahan martabat, dan
penekanan psikis.
2.
Kekerasan tingkat sedang, yang berupa
perilaku kekerasan dalam pendidikan itu sendiri. Indikator kekerasan tingkat
ini mencakup: kekerasan terbuka, terkait dengn fisik, pelanggaran terhadap
aturan sekolah/kampus, serta membawa symbol dan nama sekolah.
3.
Kekerasan tingkat berat, yakni tindakan
criminal. Pada tingkat ini kekerasan berbentuk kekerasan ofensif, ditangani
oleh pihak yang berwajib, ditempuh melalui jalur hukum, dan berada di luar
wewenang pihak sekolah/kampus.
Selain itu bentuk kekerasan pada shelvia’s
blog (http://shelviahandayani.blogspot.co.id/2014/11/makalah-kekerasan-terhadap-anak.html) dalam makalahnya antara lain:
1.
Kekerasan Fisik
Bentuk kekerasan
seperti ini mudah diketahui karena akibatnya bisa terlihat pada tubuh korban
Kasus physical abuse: persentase tertinggi usia 0-5 tahun (32.3%) dan
terendah usia 13-15 tahun (16.2%). Kekerasan biasanya meliputi memukul,
mencekik, menempelkan benda panas ke tubuh korban dan lain-lainnya. Dampak
dari kekerasan seperti ini selain menimbuBlkan luka dan trauma pada korban,
juga seringkali membuat korban meninggal
2.
Kekerasan secara
Verbal
Bentuk kekerasan
seperti ini sering diabaikan dan dianggap biasa atau bahkan dianggap sebagai
candaan. Kekerasaan seperti ini biasanya meliputi hinaan, makian, maupun
celaan. Dampak dari kekerasaan seperti ini yaitu anak jadi belajar untuk
mengucapkan kata-kata kasar, tidak menghormati orang lain dan juga bisa
menyebabkan anak menjadi rendah diri.
3.
Kekerasan secara
Mental
Bentuk kekerasan
seperti ini juga sering tidak terlihat, namun dampaknya bisa lebih besar dari
kekerasan secara verbal. Kasus emotional abuse: persentase
tertinggi usia 6-12 tahun (28.8%) dan terendah usia 16-18
tahun (0.9%)Kekerasaan seperti ini meliputi pengabaian orang tua terhadap
anak yang membutuhkan perhatian, teror, celaan, maupun sering
membanding-bandingkan hal-hal dalam diri anak tersebut dengan yang lain, bisa
menyebabkan mentalnya menjadi lemah. Dampak kekerasan seperti ini yaitu
anak merasa cemas, menjadi pendiam, belajar rendah diri, hanya bisa iri tanpa
mampu untuk bangkit.
4.
Pelecehan Seksual
Bentuk kekerasan
seperti ini biasanya dilakukan oleh orang yang telah dikenal anak, seperti
keluarga, tetangga, guru maupun teman sepermainannya sendiri.Kasus pelecehan
eksual: persentase tertinggi usia 6-12 tahun (33%) dan terendah usia
0-5 tahun (7,7%).Bentuk kekerasan seperti ini yaitu pelecehan, pencabulan
maupun pemerkosaan. Dampak kekerasan seperti ini selain menimbulkan trauma
mendalam, juga seringkali menimbulkan luka secara fisik.
Berikutnya hendak dikemukakan berbagai bentuk
kekerasan terhadap anak yang ditetapkan sebagai tindak pidana sebagaimana
diatur dalam UU Perlindungan Anak. Seperti dikemukakan di atas, bahwa ada
beberapa bentuk kekerasan terhadap anak, yaitu kekerasan fisik, psikis, dan
seksual. Bentuk bentuk kekerasan terhadap anak tersebut dijabarkan ke dalam
berbagai tindak pidana, seperti diatur dalam Pasal 77 s/d Pasal 89. mengeksploitasi
ekonomi dan seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain (Pasal 88); menempatkan, membiarkan, melibatkan,menuruh melibatkan
anak dalam penyalahgunaan produksi atau distribusi narkotika, psikotropika,
alkhohol, dan/atau zat adiktif lainya (napza) (Pasal89).
E. Dampak
dari Kekerasan pada Anak
Dampak kekerasan pada anak yang diakibatkan
oleh orangtuanya sendiri atau orang lain sangatlah buruk antara lain:
1.
Agresif.
Sikap ini biasa ditujukan anak kepada pelaku
kekerasan. Umumnya ditujukan saat anak merasa tidak ada orang yang bisa
melindungi dirinya. Saat orang yang dianggap tidka bisa melindunginya itu
ada disekitarnya, anak akan langsung memukul datau melakukan tindak
agresif terhadap si pelaku. Tetapi tidak semua sikap agresif anak muncul
karena telah mengalami tindak kekerasan.
2.
Murung/Depresi
Kekerasan mampu membuat anak berubah drastis
seperti menjadi anak yang memiliki gangguan tidur dan makan, bahkan bisa
disertai penurunan berat badan. Ia akan menjadi anak yang pemurung,
pendiam, dan terlihat kurang ekspresif.
3.
Memudah menangis
Sikap ini ditunjukkan karena anak merasa
tidka nyaman dan aman dengan lingkungan sekitarnya. Karena dia kehilangan
figur yang bisa melindunginya, kemungkinan besar pada saat dia besar, dia
tidak akan mudah percaya pada orang lain.
4.
Melakukan tindak kekerasan terhadap orang
lain
Dari semua ini anak dapat melihat bagaimana
orang dewasa memperlakukannya dulu.Ia belajar dari pengalamannya, kemudian
bereaksi sesuai dengan apa yang dia alami.
F. Perlindungan
hukum terhadap anak korban kekerasan
Perlindungan anak adalah suatu usaha yang
mengadakan situasi dan kondisi yang memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban
anak secara manusiawi positif.Ini berarti dilindunginya anak untuk memperoleh
dan mempertahankan haknya untuk hidup, mempunyai kelangsungan hidup, bertumbuh
kembang dan perlindungan dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya sendiri atau
bersama para pelindungnya. (Arief Gosita, 1996:14).
Menurut pasal 1 nomor 2
, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak disebutkan
bahwa: “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi
anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Pada umumnya, upaya
perlindungan anak dapat dibagi menjadi perlindungan langsung dan
tidak langsung, dan perlindungan yuridis dan non-yuridis. Upaya-upaya
perlindungan secara langsung di antaranya meliputi: pengadaan sesuatu agar anak
terlindungi dan diselamatkan dari sesuatu yang membahayakannya,
pencegahan dari segala sesuatu yang dapat merugikan atau mengorbankan anak,
pengawasan, penjagaan terhadap gangguan dari dalam dirinya atau dari luar
dirinya, pembinaan (mental, fisik, sosial), pemasyarakatan pendidikan formal
dan informal, pengasuhan (asah, asih, asuh), pengganjaran (reward),
pengaturan dalam peraturan perundang-undangan.(Arief Gosita, 1996:6)
Sedangkan, upaya perlindungan tidak langsung
antara lain meliputi: pencegahan orang lain merugikan, mengorbankan kepentingan
anak melalui suatu peraturan perundang-undangan, peningkatan pengertian yang
tepat mengenai manusia anak serta hak dan kewajiban, penyuluhan mengenai
pembinaan anak dan keluarga, pengadaaan sesuatu yang menguntungkan anak,
pembinaan (mental, fisik dan sosial) para partisipan selain anak yang
bersangkutan dalam pelaksanaan perlindungan anak, penindakan mereka yang
menghalangi usaha perlindungan anak.(Arief Gosita, 1996:7)
Kedua upaya perlindungan di atas sekilas
nampak sama dalam hal bentuk upaya perlindungannya. Perbedaan
antara keduanya terletak pada objek dari perlindungan itu sendiri. Objek
dalam upaya perlindungan langsung tentunya adalah anak secara
langsung. Sedangkan upaya perlindungan tidak langsung, lebih pada para
partisipan yang berkaitan dan berkepentingan terhadap perlindungan anak, yaitu
orang tua, petugas dan pembina.
Demi menimbulkan hasil yang optimal, seyogyanya
upaya perlindungan ini ditempuh dari dua jalur, yaitu dari jalur pembinaan para
partisipan yang berkepentingan dalam perlindungan anak, kemudian selanjutnya
pembinaan anak secara langsung oleh para partisipan tersebut.
Upaya-upaya ini lebih merupakan upaya yang
integral, karena bagaimana mungkin pelaksanaan perlindungan terhadap anak dapat
berhasil, apabila para partisipan yang terkait seperti orang tua, para petugas
dan pembina, tidak terlebih dahulu dibina dan dibimbing serta diberikan
pemahaman mengenai cara melindungi anak dengan baik.
Ditinjau dari sifat perlindungannya,
perlindungan anak juga dapat dibedakan dari menjadi: perlindungan yang bersifat
yuridis, meliputi perlindungan dalam bidang hukum perdata dan dalam hukum
pidana; perlindungan yang bersifat non-yuridis, meliputi perlindungan di bidang
sosial, bidang kesehatan dan bidang pendidikan. (Maulana Hassan Waddong,
2000:40)
Upaya perlindungan anak korban kekerasan baru
mulai mendapat perhatian penguasa, secara lebih komprehensif, sejak ditetapkannya
UU Perlindungan Anak, meski perlindungan itu masih memerlukan instrumen hukum
lainnya guna mengoperasionalkan perlidunngan tersebut.
Di samping adanya perlindungan yang bersifat
abstrak (secara tidak langsung) melalui pemberian sanksi pidana kepada pelaku
kekerasan terhadap anak, UU Perlindungan Anak juga menetapkan beberapa bentuk
perlindungan yang lain terhadap anak korban kekerasan. Pasal 17 ayat (2) yang
berbunyi: “Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual
atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan”.
Kemudian dalam Pasal 18 disebutkan: “Setiap
anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhakmemperoleh bantuan
hukum dan bantuan lainnya”.
Bentuk perlindungan yang diberikan oleh UU
(Pasal 17 ayat 2 dan Pasal 18) hanya berupa kerahasiaan si anak, bantuan hukum
dan bantuan lain. Hanya sayang, bahwa makna kerahasiaan tersebut tidak ada
penjelasan lebih lanjut.
Kemudian perlindungan yang berupa bantuan
lainnya, dalam penjelasann Pasal 18, hanya disebutkan bahwa: “bantuan
lainnya dalam ketentuan ini termasuk bantuan medik,, sosial,
rehabilitasi, vokasional, dan pendidikan”.
Dalam Bab IX tentang Penyelenggaraan
Perlindungan ditetapkan beberapa bentuk perlidungan anak yang mencakup
perlindungan agama, kesehatan, sosial, dan pendidikan. Dalam perlindungan
tersebut tidak disebutkan secara khusus tentang perlindungan bagi anak korban
kekerasan. Baru dalam bagian kelima (Pasal 59-71) diatur tentang perlindungan
khusus, namun sayangnya dalam ketentuan ini juga ditegaskan tentang bentuk
perlidungan
khusus bagi anak korban kekerasan.
Dalam ketentuan ini hanya ditetapkan tentang
proses dan pihak yang bertanggungjawan atas perlindungan anak korban kekerasan.
Misalnya, perlindungan anak korban tindak pidana (Pasal 64 ayat 3) hanya ditentukan
prosesnya, yaitu melalui: (1) upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di
luar lembaga; (2) upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media
massa dan menghindari labelisasi; (3) pemberian jaminan
keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental maupun sosial;
dan (4) pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai
perkembangan perkara.
Kemudian juga dalam hal terjadi kekerasan
yang berupa eksploitasi anak secara ekonomi dan/atau seksual (Pasal 66), perlindungan
dilakukan melalui: (1) penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan
perundangundangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi
secara ekonomi dan/atau seksual; (2) pemantauan, pelaporan, dan pemberian
sanksi; dan (3) pelibatan pemerintah dan masyarakat dalam penghapusan
eksploitasi anak secara ekonomi dan/atau seksual.
Pihak yang bertanggung jawab dalam
perlindungan tersebut, semuanya hanya ditentukan, yaitu pemerintah dan
masyarakat. Perlindungan yang diberikan oleh UU ini pada dasarnya juga masih
bersifat abstrak, tidak secara langsung dapat dinikmati oleh korban kekerasan.
Artinya, bahwa korban kekerasan tidak memperoleh perlindungan yang berupa
pemenuhan atas kerugian yang dideritanya.
Adanya ketentuan tentang Komisi Perlindungan
Anak (Pasal 74-76) juga belum menunjukkan adanya upaya pemberian perlindungan
terhadap anak korban kekerasan, sebab komisi ini tentunya juga hanya tergantung
dari ada tidaknya perlindungan yang yang berupa pemenuhan atas kerugian atau penderiataan
anak korban kekerasan.Pemberian perlindungan terhadap anak korban kekerasan,
khususnya yang berupa pemenuhan ganti kerugian, baik melalui pemberian
kompensasi dan/atau restitusi seharusnya memperoleh perhatian dari pembuat
kebijakan.
Berbagai bentuk ganti rugi tersebut bukan
semata-mata diberikan untuk perlindunagn korban. Oleh karena itu perlu ada
perhatian dari pembuat UU tentang pemberian perlindungan korban kejahatan
(kekerasan) secara langsung.Pelindungan ini sangat diperlukan bagi korban kekerasan
yang memang sangat memerlukan pemulihan kerugian, baik ekonomi maupun fisik,
sementara korban tidak mampu.
Seperti dikemukakan di atas, meski kedua UU
tersebut sudah menetapkan berbagai bentuk perlindungan anak korban kekerasan,
namun bentuk perlindungan yang bersifat langsung, baik dari negara ataupun dari
pelaku kekerasan belum nampak secara jelas. Oleh karenanya perlu ditetapkan
model pemberian perlindungan anak korban kekerasan baik dalam UU Perlindungan
Anak secara jelas dan tegas , sehingga dalam kehidupan selanjutnya anak koban
kekerasan benar-benar mendapat jaminan hukum yang jelas.
G. Solusi
Mencegah Terjadinya Kekerasan pada Anak
Solusi untuk mereduksi
meningkatnya jumlah kekerasan terhadap anak di Indonesia dapat dilakukan oleh
orang tua, guru sebagai pendidik, masyarakat dan pemerintah.
1.
Orang Tua.
Para orang tua
seharusnya lebih memperhatikan kehidupan
anaknya. Orang tua dituntut kecakapannya
dalam mendidik dan menyayangi
anak-anaknya. Jangan membiarkan anak hidup dalam kekangan, mental maupun fisik. Sikap memarahi anak
habis-habisan, apalagi tindakan kekerasan (pemukulan danpenyiksaan
fisik) tidaklah arif, karena hal itu hanya akan menyebabkan anak
merasa tidak diperhatikan, tidak disayangi. Akhirnya anak merasa trauma,
bahkan putus asa.
Penting disadari orang
tua bahwa anak dilahirkan ke dunia ini dilekati dengan berbagai hak yang layak didapatkannya. Seorang anak memiliki hak
untuk mendapatkan pengasuhan yang baik, kasih sayang, dan
perhatian. Anak pun memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang baik di
keluarga maupun di sekolah, juga nafkah (berupa pangan, sandang dan papan).
Bagaimanapun keadaannya, tidak wajib seorang anak menafkahi dirinya sendiri, sehingga ia harus kehilangan
banyak hak-haknya sebagai anak karena harus membanting tulang untuk menghidupi
diri (atau bahkan keluarganya).
Dalam kasus kekerasan pada anak, siklus kekerasan dapat berkembang dalam keluarga.
Individu yang mengalami kekerasan dari orang tuanya dulu, memiliki
kecenderungan signifikan untuk melakukan hal yang sama pada anak mereka
nanti. Tingkah laku agresi dipelajari melalui pengamatan dan
imitasi, yang secara perlahan terintegrasi dalam sistem kepribadian orang tua.
Oleh karena itu penting bagi orang tua untuk menyadari sepenuhnya bahwa perilaku mereka merupakan model rujukan bagi
anak-anaknya, sehingga mereka mampu menghindari perilaku
yang kurang baik.
2.
Guru.
Peran seorang guru
dituntut untuk menyadari bahwa pendidikan di Negara kita bukan saja untuk
membuat anak pandai dan pintar, tetapi harus juga dapat melatih mental anak
didiknya. Peran guru dalam memahami kondisi siswa sangat diperlukan.Sikap arif, bijaksana, dan toleransi sangat
diperlukan. Idealnya seorang guru mengenalbetul pribadi peserta didik,
termasuk status sosial orang tua murid sehingga ia dapat bertindak dan bersikap
bijak.
3.
Masyarakat.
Anak-anak kita ini selain bersentuhan dengan
orang tua dan guru, mereka pun tidak
bisa lepas dari berbagai persinggungan dengan lingkungan masyarakat dimana
dia berada. Untuk itu diperlukan kesadaran dan kerjasama dari berbagai
elemen di masyarakat untuk turut memberikan nuansa pendidikan positif bagi
anak-anak kita ini.Salah satu elemen tersebut adalah pihak pengelola
stasiun TV. Banyak riset menyimpulkan bahwa
pengaruh media (terutama TV) terhadap perilaku anak (sebagaisalah satu
penikmat acara TV) cukup besar. Berbagai tayangan kriminal di berbagaisatsiun
TV, tanpa kita sadari telah menampilkan potret-potret kekerasan yang tentu akan
berpengaruh pada pembentuk mental dan pribadi anak. Penyelenggara siaran TV
bertanggungjawab untuk mendesain acaranya dengan acara yang banyak
mengandungunsur edukasi yang positif.
4.
Pemerintah.
Pemerintah
adalah pihak yang bertanggung jawab penuh terhadap kemashlahatan rakyatnya,
termasuk dalam hal ini adalah menjamin masa depan bagianak-anak kita sebagai
generasi penerus. (resistancevoices.blogspot, diakses pada tanggal 02 Desember
2015 dari situs: http://resistancevoices.blogspot.co.id/2013/02/makalah-dampak-kekerasan-dalam-rumah.html)
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setiap anak berhak memperoleh perlindungan
dari keluarga, masyarakat maupun pemerintah. Dalam penyelenggaraan
perlindungan anak yang tercantum dalam UU No. 23 Tahun 2002 maka semua pihak
mempunyai kewajiban untuk melindungi anak dan mempertahankan hak-hak
anak. Pemberlakuan Undang-undang ini juga di sempurnakan dengan adanya
pemberian tindak pidana bagi setiap orang yang sengaja maupun tidak sengaja
melakukan tindakan yang melanggar hak anak. Dalam undang-undang ini juga
dijelaskan bahwa semua anak mendapat perlakuan yang sama dan jaminan
perlindungan yang sama pula, dalam hal ini tidak ada diskriminasi ras, etnis, agama,
suku dsb. Anak yang menderita cacat baik fisk maupun mental juga
memiliki hak yang sama dan wajib dilindungi seperti hak memperoleh pendidikan,
kesehatan, dsb.
Undang-undang No.23 tahun 2002 juga
menjelaskan mengenai hak asuh anak yang terkait dengan pengalihan hak asuh
anak, perwalian yang diperlukan karena ketidakmampuan orang tua berhubungan
dengan hukum, pengangkatan anak yang sangat memperhatikan kepentingan anak,
serta penyelenggaraan perlindungan dalam hal agama, kesehatan, pendidikan,
sosial dan perlindungan khusus.
B. Saran
Undang-undang ini telah dibuat dengan baik
dan memperhatikan atau peduli terhadap hak-hak anak namun pemerintah kurang
mensosialisasikan dan merealisasikan isi undang-undang ini. Pemerintah dan
masyarakat kurang berperan dalam menjalankan undang-undang ini sebab anak masih
dalam pengawasan dan pengasuhan keluarga jadi pihak lain belum
menjalankan tanggung jawab seperti yang telah tercatum diatas.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Barda Nawawi, (1998) Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan
Pengembangan Hukum Pidana,
Bandung: Citra Aditya Bakti.
Assegaf, Abd. Rahman, (2004), Pendidikan
Tanpa Kekerasan; Tipologi Kondisi, Kasus, dan Konsep, Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya.
Hadisuprapto, Paulus, (5 Oktober 1996) Masalah Perlindungan Hukum Bagi Anak,
Jakarta: PT.Gramedia Indonesia
Joni, Muhammad, (1999) Aspek Hukum Perlindungan Anak
Dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, Bandung: Citra Aditya Bakti
Rani, (5 Oktober 1996) Makalah “ Masalah perlindungan anak “
Sutanto, Retnowulan, (5 Oktober 1996) Makalah
“Hukum Acara Peradilan Anak”,
Wadong, Maulana Hassan, (2000) Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan
Anak, Jakarta: PT. Gramedia Indonesia, Jakarta 2000
Shelvi’as blog diakses pada 02 Desember 2015
pada: http://shelviahandayani.blogspot.co.id/2014/11/makalah-kekerasan-terhadap-anak.html
Resistancevoices blogspot, pada tanggal 02
Desember 2015 dari situs: http://resistancevoices.blogspot.co.id/2013/02/makalah-dampak-kekerasan-dalam-rumah.html
KUHP
Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak
0 komentar:
Posting Komentar